Kadang, dalam sebuah percakapan, saya merasa diam lebih nyaman daripada berbicara. Diam memiliki dunianya sendiri—seperti ketika kita berada di pinggir pantai, merasakan deburan ombak yang mengalun perlahan, memberi waktu bagi pikiran untuk tenggelam dalam kedamaian tanpa gangguan. Tapi apakah diam selalu berarti setuju? Pepatah Arab mengatakan, _"السكوت علامة الرضا"_ yang berarti “Diam adalah tanda setuju.” Saya seringkali merenung, dalam situasi apa sebenarnya pepatah ini berlaku, dan apakah benar diam itu selalu berarti persetujuan?
Bayangkan kamu berada di sebuah ruang rapat. Topik yang dibahas cukup kontroversial, tetapi semua orang tampak menahan diri untuk tidak bicara. Mereka mendengarkan, mengangguk sesekali, tetapi tidak ada yang berani menyuarakan ketidaksetujuan. Saat itu, saya duduk di antara mereka, memerhatikan wajah-wajah yang bingung namun tetap diam. Ketika sang pemimpin rapat menyimpulkan dengan mengatakan, "Karena tidak ada yang menolak, maka saya anggap semua setuju," suasana menjadi sunyi. Di sinilah pepatah itu terasa begitu relevan—diam mereka diartikan sebagai persetujuan.
Ketenangan. Ilustrasi dibuat oleh AI. |
Saya membayangkan diam sebagai lautan yang tenang. Di permukaan, semuanya tampak damai, tanpa riak. Namun, di kedalaman yang tak terlihat, mungkin ada badai yang menunggu saatnya untuk menyeruak ke permukaan. Dalam banyak situasi, kita sering memilih diam untuk menjaga ketenangan, menghindari konfrontasi, atau bahkan karena merasa tidak cukup berani untuk berbicara. Tapi, apakah itu berarti kita sepenuhnya setuju dengan apa yang terjadi di depan kita?
Kamu mungkin pernah berada dalam situasi di mana seseorang mengemukakan pendapat yang berlawanan dengan nilai atau keyakinanmu. Namun, demi menjaga suasana atau hubungan, kamu memilih untuk diam. Pada saat itu, pepatah ini kembali terasa benar, “Diam adalah tanda setuju.” Tapi, apakah kamu benar-benar setuju? Ataukah diam menjadi cara untuk menghindari konflik yang lebih besar?
Saya teringat sebuah pengalaman pribadi, ketika dalam sebuah diskusi di kampus, seorang teman menyampaikan gagasan yang menurut saya tidak tepat. Dia berbicara dengan penuh keyakinan, sementara yang lain hanya mendengarkan tanpa berkomentar. Ada beberapa dari kami yang mungkin tidak setuju, tetapi memilih untuk diam. Mungkin sebagian dari kami takut terlihat bertentangan, atau mungkin ada rasa malas untuk memperpanjang perdebatan. Diam kami saat itu akhirnya dianggap sebagai kesepakatan, padahal tidak sedikit dari kami yang sebenarnya memiliki pendapat berbeda.
Diam kadang menjadi perisai, seolah-olah dengan tidak mengucapkan apa pun, kita terlindungi dari dampak yang mungkin muncul. Namun, ironisnya, pepatah ini menyadarkan saya bahwa diam juga bisa menjerat. Seperti sebuah cermin yang memantulkan kesan yang salah—orang lain melihat kita setuju, meski kenyataannya jauh berbeda.
Ada kalanya kita diam bukan karena setuju, tetapi karena ada rasa takut yang menekan. Rasa takut akan penolakan, rasa takut untuk melawan arus, atau bahkan rasa takut untuk dihakimi. Di sini, diam menjadi benteng yang rapuh. Benteng yang mungkin melindungi kita untuk sementara waktu, namun pada akhirnya, bisa runtuh saat kebenaran tak lagi bisa disembunyikan.
Saya pernah berada dalam situasi di mana keputusan penting diambil dalam kelompok. Semua orang tampak berdiam diri, sementara di dalam hati saya penuh dengan keraguan. Namun, rasa sungkan untuk berbicara menahan saya dari mengungkapkan pendapat. Ketika akhirnya keputusan diambil, saya merasakan kegelisahan yang menyelinap, karena diam saya dianggap sebagai tanda persetujuan. Di sinilah saya menyadari bahwa diam saya bukanlah lambang kesepakatan, melainkan ketidakberdayaan.
Seperti air yang tenang menyimpan badai di bawah permukaannya, diam bisa menyimpan banyak perasaan. Mungkin itu adalah ketidaksetujuan yang tak terucapkan, atau mungkin itu adalah kebingungan yang tak terungkap. Namun bagi dunia luar, diam seringkali ditafsirkan sebagai persetujuan.
Dalam konteks hubungan pribadi, pepatah ini juga sering kali berlaku. Bayangkan kamu berada dalam percakapan dengan orang terdekatmu, mungkin pasangan atau teman dekat. Terkadang, mereka mengungkapkan sesuatu yang kamu tidak sepenuhnya setuju, tetapi demi menjaga hubungan, kamu memilih untuk diam. Diam itu memberikan kesan bahwa kamu setuju, meskipun di dalam hati ada banyak keraguan. Di sini, diam bisa menjadi jebakan yang perlahan-lahan membangun tembok di antara kalian.
Pepatah Arab ini juga sering saya rasakan dalam konteks pekerjaan. Saat atasan menyampaikan instruksi yang mungkin tidak sepenuhnya logis, banyak dari kita yang memilih diam daripada menyuarakan keberatan. Diam itu dianggap sebagai persetujuan, padahal mungkin saja ada banyak yang meragukan atau memiliki alternatif lain dalam pikiran mereka. Tapi, karena situasi, karena posisi, kita memilih diam, dan dengan demikian, kesepakatan itu dianggap terjadi.
Namun, ada kalanya diam memang menjadi wujud persetujuan yang nyata. Seperti ketika kita berada di tengah momen indah, dalam percakapan yang hangat dengan seseorang yang kita cintai, di mana kata-kata tak lagi diperlukan. Diam dalam momen-momen seperti ini adalah bahasa hati, sebuah tanda bahwa kita benar-benar setuju dan merasa nyaman. Di sini, diam bukanlah bentuk kelemahan, melainkan kekuatan.
Seperti senja yang perlahan tenggelam di ufuk barat, diam kadang berbicara lebih keras dari suara. Tetapi, tidak semua diam berarti persetujuan. Seperti angin yang berhembus lembut di antara dedaunan, terkadang diam itu hanyalah jeda, sebuah ruang bagi kita untuk merenung, berpikir, dan pada akhirnya, memilih jalan yang benar untuk bersuara.
Kamu dan saya, kita mungkin sering berada di persimpangan ini—antara diam dan berbicara. Ada saat-saat ketika kita memilih untuk diam, dan mungkin itu memang pilihan terbaik. Namun, saya selalu percaya bahwa kita harus berhati-hati dalam memaknai diam. Jangan biarkan diam kita diartikan sebagai setuju jika hati kita sebenarnya berkata sebaliknya. Karena pada akhirnya, pepatah ini mengingatkan kita bahwa dalam banyak situasi, dunia melihat diam sebagai persetujuan. Jadi, jika diam bukanlah jawaban yang tepat, mungkin saatnya kita mulai berbicara.
0 Komentar