Selepas salat Jum’at itu, langit tampak bersih, seperti kanvas biru tanpa cacat. Udara menyelinap lembut, membelai wajahku ketika aku melangkah keluar dari masjid. Aku berjalan pelan, meresapi ketenangan yang tersisa dari ibadah yang baru saja selesai. Saat itulah, dari kejauhan, terdengar suara yang familiar, memanggil namaku.
Jalan Sancang, September 2024 |
"Hey, apa kabar?"
Suara itu datang dari Pak Jack. Aku sempat terhenyak. Sudah lama sekali rasanya tidak bertemu dengannya. Dia berdiri di sudut halaman masjid, senyum tipis menghiasi wajahnya yang semakin dihiasi garis-garis usia. Jujur, aku sedikit terkejut. Beberapa kali aku melihatnya dari kejauhan, tapi selalu ada saja alasan untuk tak bertegur sapa. Kadang waktu yang sempit, kadang hanya perasaan enggan yang tak jelas asalnya.
Pak Jack, teman kuliahku dulu. Kami sama-sama belajar psikologi. Meskipun usia kami terpaut jauh, dia sekitar lima puluh tahunan—aku hanya bisa menebak-nebak—tapi semangat belajarnya begitu mengagumkan. Ada banyak cerita mengapa dia memilih untuk kembali ke bangku kuliah setelah berpuluh-puluh tahun berlalu, tapi mungkin kisah itu lebih baik diceritakan di lain waktu.
Hari ini, dia berdiri di hadapanku, sosok yang pernah mengisi hari-hari di kelas kuliah, penuh wibawa dan kharisma. Kami berjabat tangan, seperti menyatukan kembali kenangan yang sudah lama tak disentuh.
"Apa kabar, Pak?" tanyaku membuka percakapan, mencoba memecah keheningan yang sedikit canggung.
Dia tersenyum lagi, lebih lebar kali ini. “Baik, Alhamdulillah. Kamu sendiri gimana? Sering ke masjid sini ya?”
Aku anggukkan kepala. “Iya, kebetulan saya sekarang banyak aktivitas di sini, bantu-bantu sedikit di kepengurusan.”
Obrolan pun mengalir, seperti sungai yang tenang, mengalir di antara batu-batu ingatan yang sesekali kami sentuh dengan ringan. Namun, di tengah obrolan ringan itu, tiba-tiba Pak Jack bertanya sesuatu yang lebih dalam.
"Jadi, apa kamu punya rencana lanjut kuliah lagi?" tanyanya, matanya menyelidik, seolah ada harapan yang terselip di balik pertanyaan itu.
Aku terdiam sejenak, memikirkan jawabanku. "Sudah terpikirkan, bahkan sempat direncanakan. Tapi entah kenapa, selalu ada saja yang membuat saya merasa kesempatan itu belum datang."
Pak Jack tersenyum tipis, seolah memahami sepenuhnya perasaan yang sedang berkecamuk dalam diriku. Kemudian, dengan suara yang tenang namun penuh makna, dia mulai bercerita tentang seorang kenalannya.
"Temanku," dia memulai dengan nada pelan, "dia anak petani. Dari keluarga yang sangat sederhana. Tapi, tahukah kamu, dia bisa kuliah S2 di Tokyo, Jepang."
Kata-kata itu seolah menghantamku. Tokyo. Jepang. Di tengah kota yang gemerlap dan penuh hiruk pikuk, seorang anak petani dari pelosok Indonesia berhasil menempuh pendidikan di salah satu kota dengan biaya hidup tertinggi di dunia. Pikiranku mulai melayang, mencoba membayangkan perjuangan yang harus ditempuh.
"Dia perempuan, masih muda," lanjut Pak Jack, "dan kamu tahu, dia bisa menyelesaikan studinya karena satu hal: keyakinan."
Aku menatapnya dengan lebih saksama. "Keyakinan?"
"Ya," jawabnya sambil mengangguk. "Dia yakin bahwa mencari ilmu itu adalah perintah Allah. Dan jika Allah yang memerintahkan, maka pasti Allah yang akan mencukupi segala kebutuhannya."
Kata-kata Pak Jack seperti embusan angin sejuk yang tiba-tiba menyapu lembut wajahku. Aku terdiam, mencerna setiap kalimat yang dia lontarkan. Keyakinan. Bukan sekadar percaya pada diri sendiri, tapi lebih dari itu, percaya bahwa Allah, Sang Pencipta alam semesta, yang akan menjamin jalan bagi mereka yang menuntut ilmu.
Dia melanjutkan, "Terkadang, kita ini terlalu banyak berpikir tentang bagaimana cara kita bisa mendapatkan sesuatu. Kita lupa bahwa tugas kita hanya berusaha, dan selebihnya, Allah yang akan mencukupkan. Seperti saat kita meminta bantuan seseorang untuk membelikan makanan, misalnya. Kita tahu pasti kalau kita tentu mampu untuk membayar makanan yang kita pesan, atau malah kita lebihkan dengan memberikan tips ke seseorang yang kita mintakan bantuan."
Aku mengangguk. Analogi yang dia gunakan sangat sederhana, tapi begitu jelas. Mencari ilmu, sebuah perintah langsung dari Allah, seharusnya tidak menimbulkan rasa takut atau keraguan. Karena jika itu adalah perintah-Nya, maka Allah sendiri yang akan menyediakan jalan.
“Temanku itu,” lanjutnya, “mengajarkan kepadaku bahwa batas terbesar dalam hidup kita bukanlah kekurangan materi atau kesempatan. Batas terbesar itu adalah rasa takut kita sendiri. Rasa takut untuk melangkah ke depan, karena kita terlalu sibuk bertanya, ‘Bagaimana kalau gagal? Bagaimana kalau saya tidak mampu?’ Padahal, ketika kamu melangkah dengan keyakinan, bahkan gunung sekalipun bisa dipindahkan.”
Kata-kata Pak Jack menggema di pikiranku. Rasa takut, ragu, dan ketidakpastian sering kali menjadi tembok tak terlihat yang menghalangi langkah kita. Padahal, di balik tembok itu ada dunia yang penuh dengan kesempatan. Dan untuk merobohkan tembok itu, yang kita butuhkan hanyalah keyakinan.
Aku teringat pada sebuah peristiwa di masa lalu, saat aku ragu untuk mengambil keputusan penting dalam hidupku. Waktu itu, aku berada di persimpangan, antara mengambil risiko atau bermain aman. Pada akhirnya, aku memilih jalan yang lebih mudah, jalan yang tidak menantang ketakutan terbesarku. Tapi hari ini, dengan cerita Pak Jack, seolah-olah sebuah pintu baru terbuka di hadapanku.
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Pak Jack, membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum, perasaan hangat menjalar di dadaku. "Mungkin sudah waktunya untuk berhenti ragu dan mulai melangkah."
Pak Jack tersenyum puas. "Itulah yang ingin saya dengar. Ingat, mencari ilmu itu bukan hanya tentang mendapatkan gelar. Itu adalah perjalanan spiritual, sebuah ibadah. Ketika kamu melangkah dengan niat yang ikhlas, kamu tidak hanya mencari pengetahuan, tapi juga ridha Allah."
Percakapan kami berlanjut, tapi di dalam hatiku, sesuatu telah berubah. Ada api kecil yang menyala, menyinari jalan yang sebelumnya terasa gelap dan penuh ketidakpastian. Aku sadar, setiap langkah yang kita ambil dalam hidup ini adalah bagian dari takdir yang telah ditulis untuk kita. Dan ketika kita melangkah dengan keyakinan penuh kepada Allah, setiap langkah itu akan membawa kita lebih dekat kepada-Nya.
Ketika kami berpisah sore itu, langit sudah berubah warna, semburat jingga menghiasi cakrawala, seolah-olah matahari sedang berpamitan dengan lembut. Aku melangkah pulang dengan perasaan yang berbeda. Ada harapan yang baru tumbuh, dan keyakinan bahwa mungkin, hanya mungkin, jalanku menuju pendidikan yang lebih tinggi sudah menanti di depan. Yang aku butuhkan sekarang hanyalah melangkah.
Bandung, September 2024
0 Komentar